Sejarah Konservasi Taman Nasional Sebangau
Sejarah Taman Nasional Sebangau
Perjalanan panjang transformasi Kawasan Sebangau dari area eksploitasi menjadi benteng konservasi dimulai sejak awal dekade 1970-an ketika kawasan ini dikelola sebagai wilayah Hak Pengusahaan Hutan yang aktif beroperasi hingga pertengahan tahun 1990-an. Periode pasca berakhirnya izin HPH menjadi masa kelam bagi ekosistem gambut Sebangau karena maraknya aktivitas pembalakan liar yang dilakukan dengan cara menggali parit dan kanal untuk mengangkut kayu, praktik yang mengancam keutuhan ekologis kawasan dan menyebabkan gambut kehilangan air serta fungsi hidrologisnya. Kerusakan semakin parah dengan terjadinya serangkaian kebakaran hutan besar pada tahun 1992, 1994, 1997, dan 2002 akibat kekeringan gambut yang dipicu oleh kerusakan sistem tata air. Melihat kondisi kritis ini, World Wide Fund Sunderland Bioregion menginisiasi upaya perlindungan dengan mengusulkan Sungai Sebangau dan Sungai Katingan sebagai kawasan perlindungan dalam rencana tata ruang wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Perjuangan konservasi membuahkan hasil ketika pada tanggal 19 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan ini sebagai Taman Nasional Sebangau melalui Keputusan Nomor 423/Menhut-II/2004 dengan luas awal 568.700 hektare, yang kemudian mengalami penyesuaian menjadi 542.141 hektare pada tahun 2012 berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 529/Menhut-II/2012, dan terakhir direvisi menjadi 537.126 hektare pada tahun 2018. Sejak penetapan status taman nasional, pengelolaan kawasan terus berbenah melalui program rehabilitasi masif yang dimulai tahun 2005 dengan penanaman ribuan bibit pohon lokal, pembangunan lebih dari 1.800 sekat kanal untuk restorasi hidrologi gambut, serta pengembangan sistem zonasi yang ditetapkan melalui SK Dirjen KSDAE Nomor 97 tahun 2016 untuk mengoptimalkan efektivitas pengelolaan kawasan.

